Kita tentunya sering
mendengarkan pidato, ceramah, atau omongan orang-orang yang mengatakan bahwa
umat Islam saat ini sedang mengalami kemandekan, kejumudan, atau stagnan.
Kesimpulan ini diambil dari pembandingan kejayaan umat Islam pada masa lalu
khususnya pada pemerintahan Rasulullah dan beberapa masa pemerintahan khilafah
dengan kondisi umat Islam saat ini yang seakan-akan sudah mengindikasikan pada
metafora hadist nabi yaitu “suatu saat umat Islam akan menjadi seperti buih di
lautan”.
Berangkat dari pandangan di
atas Agus mustofa mencoba mengutarakan pandangannya bahwa stagnansi yang
dialami umat islam saat ini adalah karena umat islam sudah terlalu lama
meninggalkan akal sehatnya dalam beragama, agama hanya dapat disematkan kepada
seseorang sebagai predikat tanpa bisa dirasakan apa dan bagaimana rasanya
beragama dengan sesungguhnya.
Dalil naqli utama yang
dijadikan acuan oleh penulis untuk memperkuat pendapatnya adalah, QS. Al
baqarah, 269.
Allah menganugerahkan Al
hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah
dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang yang menggunakan akal
yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).
Dalam buku ini, penulis mengungkapkan “keanehan-keanehan” umat islam saat ini
dalam beragama, misalnya saja banyak diantara kita yang masih menginginkan
adanya penyeragaman pendapat dan pikiran, kalau ada segolongan orang yang
mempunyai pendapat berbeda kita buru-buru mengklaim bahwa golongan tersebut
tidak layak untuk masuk surga hanya karena berbeda pandangan dengan kita (Hal
24-31). Fenomena seperti ini
tentunya tidak sesuai dengan apa yang sering dicontohkan Rasulullah yang tidak
pernah berkeinginan menyeragamkan prilaku atu pendapat para sahabat.
Atau yang lainnya, dalam forum-forum diskusi atau kajian tentang perbandingan
agama kita sering mengolok-olok suatu agama yang menganggkat seorang pemimpin
tertinggi agama di dunia, dan mengatakan bahwa itu merupakan wujud dari
penyembahan sesama manusia, tapi kita sendiri tidak menyadari bahwa pada
kenyataannya umat islam juga mempraktekkan hal yang sama, umat islam masih
mengagung-agungkan tokohnya masing-masing sebagai sumber kebenaran, ada yang
mengagung-agungkan suatu madhab bahkan tanpa ditelusuri kebenarannya, padahal
semua imam madhab sendiri (imam abu hanifah, imam syafi’i, imam ibnu hambal,
dan imam maliki) selalu mengatakan “koreksilah pendapat saya, kalau pendapat
saya memang tidak sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadist maka jangan sekali-kali kalian mengikuti
pendapatku”.
Fenomena beragama seperti diatas disinyalir sebagai penyebab kejumudan umat
Islam dalam menjalankan perintah-perintah agama, budaya-budaya yang tidak
bersumber dari al quran dan al hadist masih sering dijadikan dasar prilaku
beragama.
Selain menanggapi fenomena beragama tanpa akal sehat, penulis juga memberikan argumen-argumen
tentang tentang keselarasan antara Agama, Sains, dan Akal. Banyak yang
mengatakan bahwa agama dan sains adalah dua hal yang berbeda dan tidak mengkin
utnuk disatukan. Pendapat ini wajar saja terlontar karena yang mengatakan pasti
menidentikkan agama dengan agama nasrani yang dogmanya sering bertentangan
dengan akal sehat, bagaiamana saat galileo dihukum karena menemukan teori baru
yang tidak sesuia dengan pendapatnya gereja. Namun apakah pengalaman itu
kemudian bisa dijadikan dasar untuk mengeneralisir semua agama di dunia ini,
tentunya tidak, apalagi agama Islam. Sepanjang perkembangan sains dan
teknologi, Islam tidak pernah sekalipun bertentangan, kalaupun ada ilmuan yang
bertentangan, itu hanya kekeliruan dari peneiti sendiri, yang kemudian segera
dibantah oleh ilmuan berikutnya yang bisa membuktikan secara lebih ilmiah dan
hasil akhirnya sesuai dengan Islam. Satu pernyataan kontroversial pernah
dilontarkan oleh ilmuan sains fenomenal Albert Einstein yang mengatakan kalau
seandainya alam semesta memiliki tiga tuhan maka hancurlah alam semesta ini.
Pernyataan Einstein sangat sesuai dengan konsep tauhid yang dimiliki umat Islam
dan pernyataan ini tentunya melalui berbagi penelitian dan pengamatan yang
tidak sembarangan.
Salah satu pendapat penulis yang perlu kita cerna lebih dalam adalah
pendapatnya yang mengatakan bahwa cara meyakini agama dan sains adalah sama,
kalau kita mempercayai sains dengan dimulai ketidakpercayaan dan keragu-raguan
maka dalam hal beragama juga demikian, kita tidak boleh meyakini apa yang ada
dalam agama sebelum dapat menemukan bukti sendiri. Pendapat seperti ini
tentunya berbeda dengan apa yang pernah kita dengar dari ustad atau pak guru
kita, yang mengatakan bahwa kita harus meyakini dulu kebenaran agama baru
kemudian membuktikannya. Perbedaan-perbedaan ini tentunya harus kita kaji dulu
keabsahanya agar kita tidak tergolong orang-orang yang “merugi”.
Sebagai penutup, seperti halnya judul buku ini “Beragama dengan akal sehat”,
maka dalam membaca dan mencerna isi buku ini kita juga musti menggunakan akal
sehat kita agar kita termasuk menjadi “orang-orang yang dapat mengambil
pelajaran”. Jangan sampai kita menelan mentah-mentah statemen yang disajikan
dalam buku ini, masih banyak pernyataan-pernyataan yang perlu kita kaji bersama
kebenarannya. Bagaimanapun kebenaran mutlak hanya datang dari Allah, tidak yang
lain.
0 komentar:
Posting Komentar