Selasa, 24 April 2012

Resensi Buku Beragama dengan Akal Sehat



Judul buku
Beragama Dengan Akal Sehat
Pengarang
Agus Mustofa
Penerbit
Padma Press
Cetakan
November 2008
Peresensi
Fahmi Faqih A



Kita tentunya sering mendengarkan pidato, ceramah, atau omongan orang-orang yang mengatakan bahwa umat Islam saat ini sedang mengalami kemandekan, kejumudan, atau stagnan. Kesimpulan ini diambil dari pembandingan kejayaan umat Islam pada masa lalu khususnya pada pemerintahan Rasulullah dan beberapa masa pemerintahan khilafah dengan kondisi umat Islam saat ini yang seakan-akan sudah mengindikasikan pada metafora hadist nabi yaitu “suatu saat umat Islam akan menjadi seperti buih di lautan”.

Berangkat dari pandangan di atas Agus mustofa mencoba mengutarakan pandangannya bahwa stagnansi yang dialami umat islam saat ini adalah karena umat islam sudah terlalu lama meninggalkan akal sehatnya dalam beragama, agama hanya dapat disematkan kepada seseorang sebagai predikat tanpa bisa dirasakan apa dan bagaimana rasanya beragama dengan sesungguhnya.

Dalil naqli utama yang dijadikan acuan oleh penulis untuk memperkuat pendapatnya adalah, QS. Al baqarah, 269.
Allah menganugerahkan Al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang yang menggunakan akal yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).
 
                Dalam buku ini, penulis mengungkapkan “keanehan-keanehan” umat islam saat ini dalam beragama, misalnya saja banyak diantara kita yang masih menginginkan adanya penyeragaman pendapat dan pikiran, kalau ada segolongan orang yang mempunyai pendapat berbeda kita buru-buru mengklaim bahwa golongan tersebut tidak layak untuk masuk surga hanya karena berbeda pandangan dengan kita (Hal 24-31). Fenomena seperti ini tentunya tidak sesuai dengan apa yang sering dicontohkan Rasulullah yang tidak pernah berkeinginan menyeragamkan prilaku atu pendapat para sahabat.

                Atau yang lainnya, dalam forum-forum diskusi atau kajian tentang perbandingan agama kita sering mengolok-olok suatu agama yang menganggkat seorang pemimpin tertinggi agama di dunia, dan mengatakan bahwa itu merupakan wujud dari penyembahan sesama manusia, tapi kita sendiri tidak menyadari bahwa pada kenyataannya umat islam juga mempraktekkan hal yang sama, umat islam masih mengagung-agungkan tokohnya masing-masing sebagai sumber kebenaran, ada yang mengagung-agungkan suatu madhab bahkan tanpa ditelusuri kebenarannya, padahal semua imam madhab sendiri (imam abu hanifah, imam syafi’i, imam ibnu hambal, dan imam maliki) selalu mengatakan “koreksilah pendapat saya, kalau pendapat saya memang tidak sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadist maka jangan sekali-kali kalian mengikuti pendapatku”.

                Fenomena beragama seperti diatas disinyalir sebagai penyebab kejumudan umat Islam dalam menjalankan perintah-perintah agama, budaya-budaya yang tidak bersumber dari al quran dan al hadist masih sering dijadikan dasar prilaku beragama.

                Selain menanggapi fenomena beragama tanpa akal sehat, penulis juga memberikan argumen-argumen tentang tentang keselarasan antara Agama, Sains, dan Akal. Banyak yang mengatakan bahwa agama dan sains adalah dua hal yang berbeda dan tidak mengkin utnuk disatukan. Pendapat ini wajar saja terlontar karena yang mengatakan pasti menidentikkan agama dengan agama nasrani yang dogmanya sering bertentangan dengan akal sehat, bagaiamana saat galileo dihukum karena menemukan teori baru yang tidak sesuia dengan pendapatnya gereja. Namun apakah pengalaman itu kemudian bisa dijadikan dasar untuk mengeneralisir semua agama di dunia ini, tentunya tidak, apalagi agama Islam. Sepanjang perkembangan sains dan teknologi, Islam tidak pernah sekalipun bertentangan, kalaupun ada ilmuan yang bertentangan, itu hanya kekeliruan dari peneiti sendiri, yang kemudian segera dibantah oleh ilmuan berikutnya yang bisa membuktikan secara lebih ilmiah dan hasil akhirnya sesuai dengan Islam. Satu pernyataan kontroversial pernah dilontarkan oleh ilmuan sains fenomenal Albert Einstein yang mengatakan kalau seandainya alam semesta memiliki tiga tuhan maka hancurlah alam semesta ini. Pernyataan Einstein sangat sesuai dengan konsep tauhid yang dimiliki umat Islam dan pernyataan ini tentunya melalui berbagi penelitian dan pengamatan yang tidak sembarangan.

                Salah satu pendapat penulis yang perlu kita cerna lebih dalam adalah pendapatnya yang mengatakan bahwa cara meyakini agama dan sains adalah sama, kalau kita mempercayai sains dengan dimulai ketidakpercayaan dan keragu-raguan maka dalam hal beragama juga demikian, kita tidak boleh meyakini apa yang ada dalam agama sebelum dapat menemukan bukti sendiri. Pendapat seperti ini tentunya berbeda dengan apa yang pernah kita dengar dari ustad atau pak guru kita, yang mengatakan bahwa kita harus meyakini dulu kebenaran agama baru kemudian membuktikannya. Perbedaan-perbedaan ini tentunya harus kita kaji dulu keabsahanya agar kita tidak tergolong orang-orang yang “merugi”.

           Sebagai penutup, seperti halnya judul buku ini “Beragama dengan akal sehat”, maka dalam membaca dan mencerna isi buku ini kita juga musti menggunakan akal sehat kita agar kita termasuk menjadi “orang-orang yang dapat mengambil pelajaran”. Jangan sampai kita menelan mentah-mentah statemen yang disajikan dalam buku ini, masih banyak pernyataan-pernyataan yang perlu kita kaji bersama kebenarannya. Bagaimanapun kebenaran mutlak hanya datang dari Allah, tidak yang lain.

.

0 komentar:

Posting Komentar